Rakyat Babel
Sumber Gambar : sangpencerah.id

Hari Raya Jatuh pada Hari Jum'at, Apakah Tetap Wajib Shalat Jum'at?

Oleh : Tajun Nashr Ms.


Diperkirakan bahwasanya kemungkinan besar hari raya Idul Fitri tahun ini (1439 H) jatuh bertepatan dengan hari Jum’at jika merujuk kepada hasil perhitungan ilmu hisab falaki, sebab diperkirakan tinggi hilal pada waktu itu sudah 7 derajat lebih (dimana hal tersebut sudah di atas batas minimal bulan bisa terlihat (imkanur ru’yah) yaitu 2 derajat.)

 Meskipun demikian jika berpatokan kepada keputusan pemerintah maka hal tersebut perlu dilakukan ru’yatul hilal terlebih dahulu untuk memastikan bahwasanya hilal benar-benar bisa terlihat.


Lalu bagaimanakah jika hal tersebut terjadi? Apakah ketika seseorang telah melaksanakan shalat Id pada hari tersebut maka secara otomatis kewajiban shalat Jum’atnya gugur?



Gambaran Masalah


Dalam hal ini secara umum para ulama berbeda pendapat antara yang berpendapat bahwasanya kewajiban shalat Jum’at tidak gugur dengan yang berpendapat kewajiban shalat Jum’at gugur dan bisa diganti dengan shalat dhuhur.


Yang berpendapat tidak gugur pun terbagi menjadi dua kelompok, antara yang berpendapat tidak gugur bagi semua orang dan yang berpendapat tidak gugur kecuali bagi penduduk yang tinggal di kampung atau desa yang tidak memiliki masjid jami’ yang digunakan untuk shalat Jum’at, sehingga ketika shalat Jum’at atau shalat Id mereka harus datang ke kampung lain yang terdapat masjid jami’ di sana.


Sebab Perbedaan Pendapat

Salah satu sebab perbedaan pendapatnya adalah karena perbedaan pemahaman dan penshahihan terhadap hadits dan atsar berikut ini :


Dari Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syami dia berkata,


«شَهِدْتُ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ وَهُوَ يَسْأَلُ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ: أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِي يَوْمٍ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: كَيْفَ صَنَعَ؟ قَالَ: صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِي الْجُمُعَةِ فَقَالَ: مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ».


”Aku menyaksikan Mu’awiyah bin Abi Sufyan ketika beliau bertanya kepada Zaid bin Arqam –radhiyallahu ’anhum-, ”Apakah engkau pernah menyaksikan bersama Rasulullah –shallalahu ’alahi wa salam- ketika ada dua hari raya (Id dan Jum’at) yang bersamaan dalam satu hari?” ”Iya benar” ”Lalu apa yang beliau lakukan.” ”Beliau shalat Id kemudian memberikan keringanan dalam shalat Jum’at, lalu bersabda, ”Bagi siapa yang ingin tetap shalat Jum’at maka silahkan shalat.”[1]


Adapun hadits kedua adalah yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwasanya bersabda,

وعن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وآله وسلم قال: «قَدِ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجْمِعُونَ». رواه أبو داود وابن ماجه والحاكم.

”Telah berkumpul pada hari ini dua hari raya, maka siapa yang berkehendak (untuk hanya melaksanakan shalat Id) maka hal tersebut sudah cukup baginya meskipun tidak mengikuti shalat Jum’at. Tetapi kami tetap akan melaksanakan shalat Jum’at.”[2] ()


Bagi yang berpendapat gugur berdalil dengan dua hadits di atas. Namun yang berpendapat tidak gugur secara mutlak karena berdalil dengan keumuman wajibnya shalat Jum’at di hari apapun, adapun riwayat yang disebutkan tadi derajatnya tidak shahih. Dan yang berpendapat bahwa rukhsah itu untuk penduduk yang tinggal di kampung berlandaskan pada dalil pendukung lain yang akan kita bahas setelah ini.


Lebih rincinya berikut ini pendapat para ulama dalam masalah ini :


Pendapat Para Ulama dalam Masalah Ini


1. Mazhab Al-Hanafiyah

Perlu diketahui dalam madzhab Al-Hanafiyah hukum melaksanakan shalat ’Id itu wajib ’ain bagi orang yang memenuhi persyaratannya. Dalam madzhab ini kewajiban shalat Jum’at tidak gugur ketika bertepatan dengan shalat ’Id yang dilaksanakan pada hari tersebut.


Muhammad bin Ali Al-Hashkafi (w. 1088 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah di dalam kitabnya Ad-Durr Al-Mukhtar Syarah Tanwir Al-Abshar wa Jami’ Al-Bihar menuliskan sebagai berikut :

(تَجِبُ صَلَاتُهُمَا) فِي الْأَصَحِّ (عَلَى مَنْ تَجِبُ عَلَيْهِ الْجُمُعَةُ بِشَرَائِطِهَا) الْمُتَقَدِّمَةِ (سِوَى الْخُطْبَةِ) فَإِنَّهَا سُنَّةٌ بَعْدَهَا،

”Wajib melaksanakan ke dua shalat ini (shalat Jum’at dan shalat ’Id jika bertepatan dengan hari jum’at) berdasarkan pendapat yang paling kuat bagi orang yang wajib melaksanakan shalat jum’at jika telah memnuhi syarat-syaratnya.” [3]

Ibnu Abdin (w. 1252 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah di dalam kitabnya Radd Al-Muhtar ala Ad-Dur Al-Mukhtar menuliskan sebagai berikut :

(قَوْلُهُ عَنْ مَذْهَبِ الْغَيْرِ) أَيْ مَذْهَبِ غَيْرِنَا أَمَّا مَذْهَبُنَا فَلُزُومُ كُلٍّ مِنْهُمَا.

”.....yang dimaksud dengan perkataan Al-Hashkafi (dari madzhab yang lain –dalam masalah Idul Fitri bertepatan dengan hari Jum’at- adalah selain madzhab kami, adapun pendapat resmi dari madzhab kami adalah wajib untuk melaksanakan kedua shalat ini (shalat ’Id dan Jum’at).[4]

2. Mazhab Al-Malikiyah

Pendapat madzhab Al-Malikiyah dalam masalah ini kurang lebih sama dengan pendapat madzhab Al-Hanafiyah. Berikut ini rinciannya :


Sahnun (w. 240 H) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah dalam kitab Al-Mudawwanah Al-Kubramengutip perkataan Imam Malik ketika menjawab pertanyaan sebuah pertanyaan :

مَا قَوْلُ مَالِكٍ إذَا اجْتَمَعَ الْأَضْحَى وَالْجُمُعَةُ أَوْ الْفِطْرُ أَوْ الْجُمُعَةُ فَصَلَّى رَجُلٌ مَنْ أَهْلِ الْحَضَرِ الْعِيدَ مَعَ الْإِمَامِ ثُمَّ أَرَادَ أَنْ لَا يَشْهَدَ الْجُمُعَةَ، هَلْ يَضَعُ ذَلِكَ عَنْهُ شُهُودُهُ صَلَاةَ الْعِيدِ مَا وَجَبَ عَلَيْهِ مِنْ إتْيَانِ الْجُمُعَةِ؟

قَالَ: لَا وَكَانَ يَقُولُ: لَا يَضَعُ ذَلِكَ عَنْهُ مَا وَجَبَ عَلَيْهِ مِنْ إتْيَانِ الْجُمُعَةِ،

“Apa pendapat Imam Malik jika Idul Fitri atau Idul Adha bersamaan dengan hari Jum’at, kemudian ada salah seorang penduduk kota yang ikut shalat Id bersama Imam, kemudian dia tidak ingin ikut shalat Jum’at. Apakah keikut sertaan orang itu dalam shalat ‘Id menggugurkan kewajiban shalat Jum’at baginya?

Imam Malik menjawab : tidak, beliau juga berkata : hal tersebut tidak menggugurkan kewajibannya untuk mengikuti shalat Jum’at...”[5]

Ibnu Rusyd (w. 520 H) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah di dalam kitab Bidayah Al-Mujtahid  menuliskan sebagai berikut :

وَقَالَ مَالِكٌ وَأَبُو حَنِيفَةَ: إِذَا اجْتَمَعَ عِيدٌ وَجُمُعَةٌ فَالْمُكَلَّفُ مُخَاطَبٌ بِهِمَا جَمِيعًا: الْعِيدُ عَلَى أَنَّهُ سُنَّةٌ، وَالْجُمُعَةُ عَلَى أَنَّهَا فَرْضٌ، وَلَا يَنُوبُ أَحَدُهُمَا عَنِ الْآخَرِ،

“Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwasanya jika hari ‘Id bersamaan dengan hari Jum’at maka seorang mukallaf tetap diberikan kewajiban untuk melaksanakan kedua shalat tersebut.

Sebab shalat Id hukumnya sunnah sedangkan shalat Jum’at hukumnya wajib, dan salah satu shalat ini tidak bisa menggantikan yang lain “.[6]

3. Mazhab Asy-Syafi’i

Dalam madzhab ini dibedakan antara hukum orang yang tinggal di kota yang dekat dengan masjid dengan penduduk desa yang tinggal jauh dari masjid. Keringanan boleh tidak shalat Jum’at hanya khusus bagi penduduk yang tinggal jauh dari masjid saja.


As-Syirazi (w. 476 H) salah satu ulama dalam mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitabnya Al-Muhaddzab fi Fiqhi Al-Imam Asy-Syafi’i menuliskan sebagai berikut :

وإن اتفق يوم عيد ويوم جمعة فحضر أهل السواد فصلوا العيد فجاز أن ينصرفوا ويتركوا الجمعة لما روي أن عثمان رضي الله عنه قال في خطبته: أيها الناس قد اجتمع عيدان في يومكم هذا فمن أراد من أهل العالية أن يصلي معنا الجمعة فليصل ومن أراد أن ينصرف فلينصرف

العبارة

”Jika hari Id bertepatan dengan hari Jum’at, kemudian para penduduk desa menghadiri dan mengikuti shalat Id tersebut, dibolehkan bagi mereka setelah itu untuk kembali ke desa dan tidak mengikuti shalat Jum’at.

Hal ini sebagaimana diriwayatkan bahwasanya Utsman –radhiyallahu ’anhu berkata dalam khutbahnya, ”Wahai manusia, telah berkumpul dua hari raya pada hari ini. Maka jika ada penduduk desa ’Aliyah (salah satu desa yang dekat dengan kota Madinah) yang ingin melanjutkan shalat Jum’at bersama kami hari ini maka silahkan, dan yang ingin kembali ke desanya (dan tidak mengikuti shalat Jum’at) maka kami persilahkan juga.[7]

An-Nawawi (w. 676 H) yang juga ulama mazhab Asy-syafi'iyah di dalam kitabnya Raudahatu At-Talibin menuliskan sebagai berikut.


إِذَا وَافَقَ يَوْمُ الْعِيدِ يَوْمَ جُمُعَةٍ، وَحَضَرَ أَهْلُ الْقُرَى الَّذِينَ يَبْلُغُهُمُ النِّدَاءُ لِصَلَاةِ الْعِيدِ، وَعَلِمُوا أَنَّهُمْ لَوِ انْصَرَفُوا لَفَاتَتْهُمُ الْجُمُعَةُ، فَلَهُمْ أَنْ يَنْصَرِفُوا، وَيَتْرُكُوا الْجُمُعَةَ فِي هَذَا الْيَوْمِ عَلَى الصَّحِيحِ الْمَنْصُوصِ فِي الْقَدِيمِ وَالْجَدِيدِ. وَعَلَى الشَّاذِّ: عَلَيْهِمُ الصَّبْرُ لِلْجُمُعَةِ.

”Jika hari Id bertepatan dengan hari Jum’at, kemudian para penduduk desa (yang tinggal di jarak yang bisa mendengar adzan shalat Id) ikut menghadiri shalat Id pada hari itu, lalu setelah shalat mereka kembali ke desa mereka meskipun mereka tahu jika mereka melakukannya maka akan ketinggalan shalat Jum’at, maka hal tersebut tidak mengapa meskipun pada hari itu mereka tidak mengikuti shalat Jum’at.

Ini adalah pendapat yang shahih dan tertulis dan qaul Qadim dan Qaul Jadid, meskipun ada pendapat syadz yang tetap mewajibkan mereka untuk ikut shalat Jum’at.[8]

4. Mazhab Al-Hanabilah

Pendapat resmi madzhab Al-Hanabilah berbeda dengan tiga madzhab sebelumnya, yaitu ada keringanan secara mutlak bagi orang yang telah melaksanakan shalat Id, meskipun demikian dia tetap wajib melaksanakan shalat dhuhur.

Ibnu Qudamah (w. 620 H) ulama dari kalangan mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Mughni menuliskan sebagai berikut :

وَإِنْ اتَّفَقَ عِيدٌ فِي يَوْمِ جُمُعَةٍ، سَقَطَ حُضُورُ الْجُمُعَةِ عَمَّنْ صَلَّى الْعِيدَ، إلَّا الْإِمَامَ، فَإِنَّهَا لَا تَسْقُطُ عَنْهُ إلَّا أَنْ لَا يَجْتَمِعَ لَهُ مَنْ يُصَلِّي بِهِ الْجُمُعَةَ.

“Jika hari Id bertepatan dengan hari Jum’at, maka gugurlah kewajiban shalat Jum’at bagi orang yang telah melaksanakan shalat Id, kecuali bagi Imam. Kewajiban shalat Jum’at tidak gugur baginya kecuali jika tidak ada di tempatnya pada waktu itu orang yang melaksanakan shalat Jum’at.”[9]

Al-Mardawi (w. 885 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Inshaf fi Ma'rifati Ar-Rajih minal Khilafmenuliskan sebagai berikut :

(وَإِذَا وَقَعَ الْعِيدُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَاجْتَزَأَ بِالْعِيدِ وَصَلَّى ظُهْرًا جَازَ) هَذَا الْمَذْهَبُ بِلَا رَيْبٍ....

”Jika hari Id bersamaan dengan hari Jum’at, kemudian ada orang yang menyukupkan shalat Id saja dan mengganti shalat Jum’at dengan shalat dhuhur maka hal ini boleh dilakukan. Tanpa diragukan lagi ini adalah pendapat resmi madzhab kami.”[10]

5. Mazhab Azh-Zhahiriyah

Menurut madzhab Azh-Zhahiriyah hadits yang disebutkan di awal pembahasan tadi derajatnya dhaif sehingga tidak bisa dijadikan dalil untuk rukhsah untuk meninggalkan shalat Jum’at.


Ibnu Hazm (w. 456 H) salah satu tokoh mazhab Azh-Zhahiriyah di dalam kitab Al-Muhalla bil Atsar menuliskan sebagai berikut :

..وَإِذَا اجْتَمَعَ عِيدٌ فِي يَوْمِ جُمُعَةٍ: صُلِّيَ لِلْعِيدِ، ثُمَّ لِلْجُمُعَةِ وَلَا بُدَّ، وَلَا يَصِحُّ أَثَرٌ بِخِلَافِ ذَلِكَ...

”Jika hari Id bersamaan dengan hari Jum’at, maka setelah melaksanakan shalat Id tetap berkewajiban melaksanakan shalat Jum’at juga.Adapun atsar yang dijadikan dalil yang menyelisihi pendapat ini maka derajatnya tidak shahih…” ”[11]



Demikian uraian perbedaan pendapat para ulama dalam masalah ini, semoga kita bisa menjadi ummat yang toleran dalam menyikapi perbedaan pendapat yang sifatnya furuiyyah ini.


Wallahu’alam bisshawab.


[1] HR. Abu Dawud, An-Nasa’i, Ibnu Majah dan Al-Hakim

[2] HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Al-Hakim

[3] Al-Hashkafi, Ad-Durr Al-Mukhtar Syarah Tanwir Al-Abshar wa Jami’ Al-Bihar , hal. 122

[4] Ibnu Abdin, Radd Al-Muhtar ala Ad-Dur Al-Mukhtar, jilid 2 hal. 166

[5] Sahnun, Al-Mudawwanah Al-Kubra, jilid 1  hal.233-234

[6] Ibnu Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid, jilid 1 hal.230

[7] As-Syirazi, Al-Muhaddzab fi Fiqhi Al-Imam Asy-Syafi’i, jilid 1  hal. 476

[8] An-Nawawi, Raudhatu At-Thalibin wa Umdatu Al-Muftiyyin, jilid 2  hal. 79

[9] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 2 hal. 265

[10] Al-Mardawi, Al-Inshaf fi Ma’rifati Ar-Rajih min Al-Khilaf, jilid 2 hal. 403

[11] Ibnu Hazm, Al-Muhalla bil Atsar, jilid 3 hal.303




 
Top